“Berhentilah
menyusahkan hidupku, Julia Wu!” bibiku meneriakiku.
Kata-kata itulah yang
terakhir kudengar saat aku beranjak meninggalkan lantai dua, menuju kamarku:
sekubus bangunan berukuran 4x4 m yang bertengger di atap datar dari bangunan
ini. Satu-satu kakiku menapak anak-anak tangga.
Tersisa sesak, sakit
hati, kecewa, menyesal dan beribu penjelasan yang kuurungkan untuk kuberikan
pada bibiku yang kusayang. Lahir batin aku merasa gagal. Gagal menyayangi siapapun
yang kusayang. Aku tertatih terluka membawakan nyawa, namun mereka berkata
‘hanya’. Meski tercabik setengah mati, aku tak pernah bisa menyalahkan
seorangpun. Satu-satunya yang paling mudah untuk kulakukan adalah menyalahkan
dan menyesali keberadaanku sendiri. Aku sayang, tapi sayangku membawa sakit.
Aku punya penjelasan, tapi tak bisa kuungkapkan.
Semua perasaan yang
menyesaki dadaku menyiratkan sinyal pada syaraf-syaraf menuju ke otak. Gundukan
putih di kepalaku mengomando kelenjar air mataku untuk beraktifitas secara
tiba-tiba. Tapi akal sehatku menolak.
Nanti saja.
Nanti sajalah saat
aku sudah berada di kamar mungilku, saat itu aku boleh menangis tanpa ada yang
menyadarinya.
Semakin kupercepat
langkah karena kelenjar air mataku juga beraktifitas secara agresif dan
radikal. Ya Tuhan, bahkan tubuhku sendiri juga menghukumku.
Aku telah sampai di
anak tangga terakhir saat tetes air mata pertamaku di ujung mata. Sekuat hati
aku menahannya. Sebab dia berdiri disana. Di bawah bintang malam, seorang
buronan polisi berdiri menyedihkan.
Lelaki pincang yang memakai krek di sisi kanan tubuhnya. Memandangku dengan
iba.
“Gege…” ratapku
menanggapi kehadirannya.
Tak terbayang olehku,
bagaimana seorang buronan pincang bisa sampai di atap datar yang terletak di
atas lantai 3 sebuah gedung di pemukiman padat penduduk? Sungguh, Kakak
lelakiku ini penuh perjuangan.
“Bibi memarahimu,
Julia?”
Dengan keterpaksaan,
aku menyunggingkan senyum lebar menampakkan gigiku. Tak sampai hati aku
membebani satu lagi orang yang kusayang dengan cerita penuh rengek manja dari
seseorang yang menahan kesedihan dan kekecewaan. Aku beranjak dewasa.
“Nggak papa ge, Cuma
telat pulang … lihat! Jam delapan malam aku masih pakai seragam.” Kataku
membuka lengan. Memperlihatkan seragam identitas SMA ku yang penuh keringat.
“Memangnya hanya
sekali ini kamu telat? Enggak kan? Ada apa, Ju? Aku susah payah kembali kemari
bukan untuk kau bohongi.”
Air mataku terbentuk
di sudutnya tiba-tiba.
Kata-kata Gege yang
menyalahkanku karena telah membohonginya terasa sangat menyakitkan. Aku berbohong
bukan untuk menyakitinya, tapi justru menjaga perasaan hatinya, tapi sekali
lagi, hal yang kulakukan tak bisa diterima orang yang kusayang.
Perasaanku tersayat
lagi.
Aku tak bisa menahan
apapun lebih lama lagi. Aku mulai terisak ….
Menunduk di depan Gege.
Aku tak sanggup memandang wajahnya. Kututup wajah menangisku dengan kedua
tanganku. Aku begitu tenggelam dalam tangis saat aku merasakan kedua lengan
Gege memeluk tubuhku, menjatuhkan krek di sisi kanan tubuhnya, tak peduli
dengan cacat kakinya.
“Menangislah, Ju …
menangislah adikku sayang … saat aku tak disini, kau pasti telah mengalami
banyak hal.”
Tangisku semakin
menjadi dalam pelukannya. Seakan gege tahu segalanya. Seakan ia menyelami
lautan perasaanku yang meluas secara signifikan dengan mendalam. Aku telah
mengalami banyak hal. Aku mengalami banyak hal. Banyak sekali hal-hal yang
kualami.
“Gege …” ratapku
dalam pelukannya.
“Iya, Ju …” jawab
Gege.
“Kris Gege …” ratapku
memanggil nama Gege.
“Menangislah sebanyak
yang kau mau. Gege disini, Ju” jawab Gege lagi.
Tempo isakan tangisku
meninggi. Bahu terguncang. Air mata yang mengalir hangat, tak ada yang mulai
mendingin. Alirannya menderas tiba-tiba.
Dan aku masih belum
bersuara.
Aku tenggelam dalam
ratapan.
Meratap sebuah kisah
tentang Kris Wu dan Julia Wu. Setahun yang lalu masih hidup damai dengan kedua
orang tua mereka. Namun malam itu datang tanpa ada yang meramalkan sebelumnya,
Kris dan Julia diyatim-piatukan oleh sebuah kecelakaan pesawat yang membawa
mereka pulang dari Guangzhou usai merayakan imlek bersama keluarga Ibu mereka
yang notabene orang asli Tiong Hoa.
Mulai hari itu kisah
hidup mereka berubah. Tinggal bersama saudara ayah mereka. Orang asli Madura. Dan tragisnya, keluarga yang tak
merelakan pernikahan kedua orang tuanya, sehingga secara otomatis, tak satupun
dari mereka yang merelakan keberadaan Kris dan Julia. Dua anak ini hidup di
dunia asing dengan makhluk yang sama sekali tak bersahabat. Kris dan Julia
bertahan dengan cara yang menakjubkan. Disaat mereka dipandang dengan penuh
kebencian, mereka membalasnya dengan perlakuan penuh cinta. Satu-satunya cara
hidup yang diajarkan pada mereka semenjak kecil adalah hidup dengan menebar
cinta.
Namun hati yang
dilingkupi benci itu terasing dengan sentuhan cinta. Sama sekali tak tergetar
dan tergerak disuguhi sikap penuh sayang. Justru semakin timbul spekulasi buruk
dan memunafikkan dua anak tak berdosa itu.
Suatu malam, paman
mereka pulang dalam keadaan mabuk. Julia merasa lapar dan membuat sedikit
keributan di dapur. namun sedikit keributan itu menjadi petaka besar. Julia
dimarahi, dibentak, diteriaki bahkan dipukuli. Saat Kris datang membela,
pamannya justru semakin menjadi. Menyiksa Julia dan mengibaskan tangannya
menghalangi perlindungan Kris. Lalu ketidaksengajaan itu terjadi. Kris memukul
wajah pamannya dengan terpaksa. Pamannya yang sedang mabuk sempoyongan ke
belakang. Kepalanya menghantam pucuk meja dan berakibat fatal.
Keributan malam itu
berakhir menyedihkan. Paman Julia kehilangan nyawa, Kris kehilangan
kebebasannya dan menjadi buronan. Sedangkan Julia, kehilangan satu-satunya
pelindung hidupnya: Kris. Kris yang setelahnya hidup serabutan.
Dan malam ini adalah
kedua kalinya Kris kembali ke rumah itu semenjak ia kehilangan kebebasannya.
Kedatangannya yang pertama, kakinya masih sehat. Secara diam-diam memanjat
bangunan hingga sampai ke kamar Julia. Ia datang dengan riang. Menguatkan seorang
Julia yang secara fisik semakin kurus. Dan secara mental semakin tertekan.
“Hush … semakin
malam, jangan keras-keras manangisnya, nanti ada yang dengar…” kata Gege.
Aku diam. Mengusap
mata dengan sebelah tangan. Sedang sebelahnya lagi menopang tubuh Gege. Lalu
aku menuntun gegeku untuk duduk di kursi panjang lima langkah di depan pintu
kamar.
“Apa yang terjadi
dengan kakimu, Ge?”
“Kecelakaan kecil.
Dua hari yang lalu. Jangan khawatir. Aku bertemu seorang dokter cantik dan baik
hati. Dokter itu yang merawat lukaku ini. Katanya tak akan lama hingga aku bisa
berjalan normal.” Kata Gege dengan senyum manisnya.
“Bagaimana gege bisa
memanjat sampai ke sini dengan kaki pincang?”
“Siapa bilang aku
memanjat?”
“Lalu?”
“Aku terbang.” Kata Gege
syarat senyuman.
“Aku rindu gege …”
kataku sambil melingkarkan lenganku ke pinggang gege.
“Berceritalah Julia.
Apa saja yang ada di pikiranmu, katakanlah …”
“Aku tak tahu, Gege
…”
“Hm?”
“Aku tak tahu aku ini
orang macam apa.”
“Julia baik dan
penyayang.” Gege tersenyum.
“Tapi aku hanya bisa
mengecewakan orang yang kusayang.”
“Julia, kamu nggak
pernah mengecewakanku.”
Aku terdiam. Mau
menangis lagi.
“Aku mengenalmu
sebagai seseorang yang punya konsep kebahagiaan sederhana. Bahagia saat yang
lain bahagia.”
Aku memandang Gege.
“Berceritalah lagi,
Ju, aku ingin mendengarmu …” lanjut Gege.
Aku menengadah. Memandang
taburan titik titik bintang pada lembaran langit hitam.
“Gege, manusia itu
bermacam-macam jenis ya? Mereka masing masing punya cara hidup berbeda-beda.
Juga punya bentuk kebahagiaan yang berbeda-beda.”
“Kau bertemu masalah
karena hal itu?”
Aku mengangguk.
“Aku melakukan suatu
hal untuk melukiskan senyum di wajah seseorang. Tapi apa yang kulakukan juga
menoreh luka di hati seseorang yang lain.”
Hening.
“Keputusan yang
kuambil tak pernah bisa memuaskan semua pihak.” Sambungku.
Gege melingkarkan
lengannya ke pundakku. Aku merasa tenang. Kepala beratku bisa tersandar ke bahu
yang benar.
“Juga, aku melakukan
banyak hal dan tidak melakukan banyak demi kebahagiaan orang-orang di
sekitarku. Tapi hanya sedikit yang pada kahirnya merasa bahagia karena itu.
Seringkali yang aku dapatkan justru kekecewaan yang menorah luka.” Ratapku.
Aku memandang gege
untuk menanyakan satu hal.
“Gege, haruskah aku
melewati beribu prahara dan mendapat ratusan luka untuk dapat merasakan setitik
bahagia?”
Aku merasa aku ingin
menangis lagi setelah menanyakannya.
Tapi Gege hanya tersenyum
dengan memasang wajah setenang air danau di malam hari.
“Jangan menyerah saat kau gagal melukis senyum
puas di wajah orang-orang yang kau sayang. Akan ada waktu dimana mereka akan
menyadari usaha kerasmu membahagiakan mereka. Ratusan luka yang kau dapat
sebelum setitik kebahagiaan justru merupakan suatu hal yang membuat kebahagiaan
kecilmu itu menjadi semakin besar dan tak ternilai harganya. Julia … ingatlah
satu hal. Tak perlu kamu berharap balasan kebaikan ketika membaiki orang lain.
Berharaplah hanya pada Yang-Kuasa, bukan pada manusia… Dia yang memeberi luka,
Dia yang menghapus luka, Dia yang memberi bahagia, Dia juga yang bisa
mencabutnya. Serahkan segalanya pada Yang-Kuasa. Tak akan ada yang perlu kau
risaukan.” Gege berkata-kata tanpa cela.
Malam itu, di atas
balkon, tepat dibawah kemerlap bintang, aku yang sehari-hari bersikap hemat
kata menjadi begitu cerewet. Banyak hal yang mau kuceritakan pada Gege akhirnya.
Dengan masih memakai seragam, aku tenggelam dalam percakapan yang melegakanku
lahir dan batin.
Hari ini adalah salah
satu hari terberat dalam hidupku. Mendapat dampratan di pagi hari dari
orang-orang rumah, sikap tak bersahabat dari beberapa teman di sekolah, kena
marah dari pemilik toko tempatku bekerja part time, dan kembali ke rumah dengan
lelah dan tanpa sengaja menabrak pot mahal hingga pecah. Sekali lagi dampratan
dari orang rumah. Dan berbagai peristiwa lain yang menyayat hati dan
perasaanku. Membumbui kelamnya hariku.
Di saat aku mengalami
berbagai hal buruk itulah, di ujungnya, aku punya Gege yang menempuh perjalanan
sulit untuk sekedar memelukku. Memberiku kekuatan, memaksaku bercerita berbagi
kekecewaan…
Di tengah segala
kesakitan dan luka dalam kisah hidupku, aku bersyukur pada Yang-Kuasa untuk
memberiku malam ini …
Namun dalam
keremangan malam, tak ada satupun dari kami yang menyadari keberadaan orang
lain di ujung tangga. Tak lama ia berada di sana. Tubuh besarnya menuruni
tangga tanpa suara. Menuju ke lantai tiga, tepat dibawah kamar-atap ku.
Tepatnya, menuju sebuah gagang telepon di sudut ruangan. Ia mengangkat
gagangnya. Memencet beberapa tombol sambil membaca angka di buku telepon.
Hening. Lalu….
“Halo, kantor
polisi?”
Dan orang itu
kemudian berbicara tanpa sedikitpun rasa iba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar