Kelopak
mataku terbuka tiba-tiba, kesadaranku dibangkitkan paksa oleh satu suara
ringkikan kuda ditengah malam yang membara. Api menjalar cepat ke rumah-rumah
kayu beratap jerami, membakar satu gapura hingga berikutnya, malam yang tak
pernah kutemui namun terekam hebat dalam kepalaku. Malam dimana pemberontak
menerobos masuk keraton arya dwipa, malam dimana pangeran wisnu dan puteri
wangi diloloskan oleh raja untuk bersembunyi menyelamatkan diri.
Hempasan pedang membawaku ke
arena lainnya. Kini aku berada di sebuah semak-semak di salah satu pinggiran
kota Surabaya, tahun 2011. Lima langkah
didepanku ada sebuah raket tergeletak begitu saja, dan lima langkah
berikutnya ada seorang pemuda berlutut menangis mengerang mengutuk hujan. Aku
sama sekali belum pernah bertemu dengannya, pun menginjakkan kaki di tempat
ini. Tapi aku bisa menjelaskan padamu detail apapun yang terjadi dengan sangat
tepat. Aliansyah, nama pemuda itu sedang menangis sehabis bertanding
bulutangkis dengan Dr. Diman yang menceritakan satu kenyataan pahit padanya.
Aku menengadahkan wajahku ke
atas, menatap hujan, menyambut jatuhnya. Ketika aku menurunkan pandanganku,
scene sudah berganti kembali. Kini aku ada berada di salah satu sudut taman di
kota London. Di depanku adalah seorang gadis dan seorang lelaki yang sedang
mengobati luka di dagu gadis itu. Seumur hidup aku belum pernah ke London,
apalagi berkenalan dengan dua orang di depanku itu. Tapi aku tahu benar bahwa
si gadis bernama Kim, dan lelaki di depannya adalah dokter ahli bedah kosmetik
bernama Eddy, aku bahkan bisa menceritakanmu lebih detail bagaimana Kim
mendapatkan luka di dagunya dan apa yang akan terjadi setelah adegan ini. Aku
tahu betul.
“Kring……Kring……”
Suara alarm menarikku kembali ke
dunia realita. Menyisakan potongan-potongan gambar mimpi yang berputar seperti
film medley. Teori mengatakan bahwa saat terbangun, manusia hanya bisa
mengingat paling banyak sekitar 20% dari total mimpinya. Kudakwa sendiri bahwa
masih banyak scene yang kualami dibanding apa yang kuingat. Tetapi 20% nya saja
sudah mampu menggerakkan jemariku untuk segera menelusuri file di laptopku.
Perlu sekitar tiga menit bagiku untuk akhirnya menemukan folder yang kucari.
Folder bernama ‘cerpenku’ tersembunyi dalam dengan alamat direktori yang
panjang. Empat tahun lalu seakan jariku dapat dengan cepat menemukannya, tapi
tidak sekarang. Folder ‘materi kuliah’, ‘referensi paper’ dan ‘jurnal skripsi’
lah yang seringkali kutuju secara default.
Aku kehilangan citarasa sastra.
“Line!”
Suara
handphone mengganggu kesyahduanku mengutak atik folder usang ini.
Dari
Zia
“File
IDSC udah gue kirim ke email lu ya, cek dulu coba”
“Iya
nanti ya, sinyal lagi bapuk.”
“Yoo”
“Eh,
Zi”
“Naon?”
“Gue
baru mimpi.”
“Mimpi
naon? Ketemu dosbing skripsi?”
“Bukan,
lebih serem.”
“Naon
dah”
“I
feel like, I was getting in my stories that I have made myself.”
“Huh?”
“Cerpen-cerpen
yang pernah gue tulis, karakter-karakter yang pernah gue bikin. I was just seen
them all.”
“Ren?”
“Hm?”
“Lu
pernah nulis cerpen?”
Ah,
aku lupa bahwa Zia mengenalku disaat aku sudah tak familiar dengan penulisan
sastra.
“lupa
gue lu kan ga tau gue pas SMA yah aha.”
“gila”
“naon?”
“gue
pikir lu tuh orang paling realistis yang segala omongannya berdasarkan data. Ga
nyangka gue kalo lu pernah nulis cerpen juga.”
“yeah
it was just years ago…”
Begitulah.
Sastra,
fantasi, kreasi adegan dan permainan kata hanyalah mainanku ketika remaja.
Pelarianku semasa SMP dan SMA dari buntunya mengerjakan soal-soal fisika
Archimedes, atau matematika persamaan lingkaran, atau saat aku gagal menghafal
table periodic.
Memasuki
dunia kuliah benar-benar mengubahku menjadi sosok yang lain dengan pola pikir,
cara pandang dan cara bertahan hidup yang sama sekali berbeda dari diriku
sepenuhnya. Aku tak akan bisa bertahan jika aku terus berlari dan menciptakan
dunia-dunia baru yang bisa kukendalikan melalui software pengolah kata dalam
laptopku. aku harus bertahan dengan tetap tinggal di kenyataan. Aku harus
bertahan dengan meluruskan jalan hidupku, bukan mengutak atik nasib karakter
yang kuciptakan sendiri.
Dan kemudian aku jatuh begitu
dalam. Masuk ke kolam fakta yang menuhankan empirisme. Aku mulai menulis karya-karya
ilmiah, proposal usulan business plan, paper, penelitian kecil dan essay. Aku
tak bisa berkata tanpa data, aku tak bisa menulis sesuatu yang tidak terbukti
secara logika, aku tak bisa percaya pada omong kosong fantasi, tipuan ilusi,
apalagi kembali menciptakannya. Aku telah jauh dari bermain-main kata dan
merangkai sastra, aku sudah jauh dari memfantasikan adegan khayal, negeri antah
berantah dan karakter unik.
“lupain
lah, mungkin gue cuma kangen sama karakter-karakter gue itu.” Balasku kemudian.
“atau
mereka yang kangen sama elu.”
Aku
merenung, tanpa membalas.
##
“Dahayu,
Faktor makro, harga minyak dan Corruption Perception Index Negara Asia, kamu
bisa lanjutkan itu.” Kata Pak Har pada Hayu.
“Alma,
cari lagi jurnal tentang volatilitas harga saham sektor property.” Lanjut
beliau.
“Hafidz,
hmmm … kamu cenderung ke perdagangan internasional komoditas pertanian, tapi
itu bukan bidang keahlian saya, coba baca lagi tentang topic moneter yang nyerempet-nyerempet
ya.” Masih kata beliau.
“Cukup
sekian dulu bimbingan hari ini, yang lain boleh keluar, Renata tunggu disini
dulu. Sesi kamu belum selesai.”
“Baik
Pak.”
Ketiga
teman seperjuangan meninggalkan ruangan dengan tatapan mata memandangku kasihan.
Hayu membisikkan kata-kata semangat ketika melewati pundakku.
Aku
menghela nafas.
Bersiap
mendengarkan apapun caci, maki, kekesalan dan hal sejenisnya dari pak Har.
“Apa
yang akan kamu lakukan sekarang, Renata?”
Aku
mengangkat wajah menghadap pak har penuh selidik.
“Kamu
paling banyak membaca jurnal dibanding kawan-kawanmu, kamu paling banyak
meresume dan bahkan dapat menceritakannya secara mendetail. Tapi, semua orang
pun tahu kamu tak punya fokus. Teman-temanmu tahunya kamu masuk konsentrasi
moneter, tapi saat kamu mengikuti conference tentang microfinance kamu juga
berorasi dengan meyakinkan. Bahkan kamu tak menunjukkan focus ke salah satu
saja topic dalam konsentrasi moneter. Pasar modal kamu baca semua, kebijakan
moneter kamu jelaskan dengan baik, apa lagi?”
Aku
diam. Beliau sedang membacaku. Aku tak tahu apakah harus merasa dipuji atau
dicaci.
“apa
bahkan sekarang kamu masih ingat model modifikasi M-GARCH pada jurnal yang kamu
baca minggu lalu?”
“Tidak,
pak.”
“Itu
dia masalahnya. Kamu melibas semuanya dan tak memilih salah satu untuk
didalami. Di satu waktu kamu jago semuanya, tapi sedetik kemudian kamu juga
lupa semuanya. Apa gunanya?”
Aku
semakin dalam masuk pada keterdiaman.
Ternyata
aku sedang dicaci.
“apa
masalahmu, nak?”
Aku
menggigit bibir, berusaha mencari diksi yang tepat untuk mengekspresikan diri.
Jarang-jarang ada yang mempertanyakan masalahku.
Ternyata
aku dibantu juga.
“Saya…
merasa semua materi itu menarik pak. Apapun yang saya baca membuat saya ingin
menelitinya lebih lanjut. Saya tidak bisa hanya berhenti dan mendalami satu hal
saja. Saya akan cepat bosan.”
“Hm…
begitu rupanya.”
“Iya
Pak.”
“Baiklah
begini saja, tentang masalah ini siapapun tidak bisa membantumu lebih banyak,
termasuk saya sebagai dosen pembimbing. Bagaimanapun skripsimu harus selesai.
Dan kamu harus bekerja lebih keras untuk sekedar menemukan topic. Baca banyak
jurnal tentang corruption perception index atau volatilitas return beberapa
jenis efek. Batasi di negara GCC (Gulf Corporate Cooperation) atau OIC
(Organization of Islamic Cooperation). Kamu sedikit lebih handal tentang
hal-hal itu. Ingat. Jangan tergoda untuk membaca topic lain dulu, selesaikan
dulu skripsimu. Kita bertemu lagi minggu depan.”
“Baik
Pak, terimakasih.”
##
“God always give me the heaviest
burden and the most difficult part.” Kuketikkan pada kolom chat pada Zia.
“Naon deui, neng?”
“disaat temen-temen sebimbingan
gue udah pada dapet topik, gue masih harus baca puluhan jurnal untuk sekedar
nyari tahu minat bakat gue dimana L
sedih luteeeh”
“yaudah yok nyari jurnal, sini
gue temenin.”
“Yo, besok ya jam 8 di perpus
lantai 4.”
“OK. See ya.”
Hufft
Aku menghela nafas melepas
penat. Bukan medan yang sulit yang kukeluhkan sesungguhnya. Tetapi ekspektasi
semua orang yang beranggapan bahwa aku akan melewati tahap skripsi ini dengan
sangat mulus tanpa ada kesulitan berarti. Kata-kata seperti “Ah, Ren mah pasti
bisa, jago dia.” Atau “Gimana Ren? Udah revisi berapa kali? Pasti lu mah udah
jauh ya.” Dan kalimat-kalimat semacamnyalah yang membebaniku tanpa henti.
“Line!”
Ada chat masuk. Mungkin Ibunda
yang menanyakan kabar kesehatanku.
“You have invited to join this
group.”
Grup apa?
Seingatku aku tak bergabung
dengan komunitas, organisasi atau geng apapun semester ini. Sepenuhnya focus
pada skripsi. Grup baru apalagi ini huh?
“KARAKTER”
Begitulah nama grupnya.
Karena penasaran, aku klik
button ‘join’.
And here I am.
“Apa-apaan ini?” aku berteriak
spontan tanpa mengenal waktu dan tempat. Beberapa pasang mata memandangku
dengan tatapan menghakimi.
Zakky, Aliansyah, Raden, Bonita,
Dokter Soedirman, Pangeran Wisnu Adhinata, Puteri Wangi Cendana dan bahkan
Talam!
Mereka adalah nama-nama karakter
yang kuciptakan dalam beberapa cerita pendek. Grup apa ini sebenarnya?
“Good afternoon, Author. Selamat
datang ke grup ini. Tak ingin melanjutkan sekuel setelah membunuhku?” Akun
dengan nama Puteri Wangi Cendana mengirimkan chat nya ke grup.
“Hai, Author. Masih ingat aku?
Yang katamu gila tapi dokter bedah. Yang membuatmu mendapat gelar ‘penokohan
tidak dominan’ dan maaf, harus duduk di peringkat 2 pada lomba cerpen lalu.”
chat berikutnya dari akun Dokter Soedirman.
Cerita yang sangat tepat. Judul
ceritanya adalah ‘Satu Organ’. Ada aliansyah juga, cerpen ini yang membuatku
mendapat juara 2 di lomba cerpen universitas lokal dahulu kala.
“Aku baru diciptain, pasti masih
ingat kan?” yang ini dari Kim. Karakter paling baru yang kuciptakan.
Aku mengernyitkan dahi. Mencoba
mengorek ingatan dan mencari tahu siapa yang kira-kira cukup iseng untuk
membuat grup aneh ini dan menerorku dengan hal ini.
Kawan SMA ku?
Siapa kawan SMA ku yang suka
membaca ceritaku?
Mira? Angga? Nova? Dea?
Ya mungkin salah satu dari
mereka. Pasti mereka yang dengan isengnya membaca ulang blog ku dan mereka-reka
adanya grup ini dan entah bagaimana cara mereka menciptakan akun-akun palsu
itu.
Baik, akan kuhubungi mereka satu
satu. Awas. Akan kutemukan.
Tetapi,
Baru saja aku hendak menghubungi
Mira, satu chat lagi masuk ke grup aneh itu.
“hei, Author. Kemana saja anda
hah? Anda bahkan belum menyelesaikan cerita tentang aku dan Beta.”
Namanya adalah Alfa.
Dan tidak mungkin itu alfa.
Alfa dan Beta.
Adalah karakter yang ceritanya
belum kuberi judul. Cerita yang kuciptakan sesaat setelah mengerjakan ujian
nasional fisika.
Cerita yang tak pernah kuunggah
di blog.
Cerita yang tak pernah kucetak.
Cerita yang bahkan tak pernah
kuperbincangkan dengan siapapun di dunia ini.
Aku yakin tak seorang pun tahu
tentang keberadaan karakter Alfa dan Beta.
Tidak Mira, Angga, Nova apalagi
Dea.
Aku mulai menyadari kemungkinan
lain yang membentur akal sehatku. Ada yang salah dengan handphone ku?
Tidak.
Gadget ini sepenuhnya berjalan
normal.
Ada yang salah dengan sistem
kerja software ku?
Tidak.
Tak ada hal aneh lain yang
terjadi.
Dan saat setiap kemungkinan
masuk akal itu tereleminasi, aku mulai merasakan hawa dingin melintas di
jari-jariku. Menjalar ke lengan hingga sampai ke leher belakang dan membuatku
mengangkat kedua bahu.
Gletak!
Tanganku menjatuhkan gadget itu.
“Are they all really my
characters that I have made? What are they doing here?”
To
be continued…