Sejalan dengan membangkitnya kinerja
perekonomian Amerika Serikat, dolar kembali menguat terhadap mata uang asing
seluruh dunia, termasuk rupiah. Pelemahan rupiah menyentuh angka 13.000 rupiah per
dolarnya. Jika ditarik data secara agregat, disaat rupiah melemah terhadap
dolar, sebenarnya ia justru menguat terhadap mata uang asing lain seperti yen,
euro, dolar Australia maupun dolar Singapura. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelemahan
rupiah terhadap dolar tidak lebih parah dari pelemahan mata uang-mata uang lain
di dunia.
Hal ini juga mungkin yang membuat Bank Indonesia
sebagai Bank Central tidak melakukan kebijakan moneter dalam rangka
mengendalikan nilai tukar dengan menaikkan tingkat suku bunga (dalam
makroekonomi, pelemahan nilai rupiah dapat diatasi dengan melakukan kebijakan
moneter menaikkan tingkat suku bunga sehingga money supply rupiah rendah karena
banyak didepositkan dan pada akhirnya mencapai nilai tukar yang stabil). Dalam
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 17 Maret lalu, Tirta Segara
selaku Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia mengumumkan
bahwa Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI rate pada angka 7.5%.
Langkah BI ini sejalan dengan tujuan program kerja Presiden Jokowi yakni
membangkitkan sektor manufaktur dan menggerakkan proyek-proyek infrastruktur.
Pemertahanan BI rate ini ditujukan untuk menjaga stabilitas investasi sebagai
sumber modal bagi sektor manufaktur tersebut. (saat BI rate tetap, masyarakat
diharapkan tidak akan banyak mendepositkan uangnya, namun mengalihkannya untuk
berinvestasi).
Keputusan ini dapat dihitung sebagai keputusan yang
cukup bijak. Karena perbaikan nilai tukar melalui kebijakan moneter dinilai
tidak lebih baik daripada kebijakan yang bertujuan untuk menggerakkan sektor
riil seperti yang dilakukan pemerintah sekarang. Dengan tetap stabilnya
investasi baik dari modal dalam negeri maupun modal asing, maka sektor industri,
manufaktur dan proyek-proyek infrastruktur pemerintah dapat terus berjalan dan
menggerakkan sektor riil perekonomian. Targetnya adalah peningkatan ekspor dan
mensurpluskan neraca perdagangan, sehingga Indonesia memiliki cadangan dolar
lebih dan pada akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar.
Mekanisme diatas menggunakan dimensi waktu jangka
panjang. Hasil dari kebijakan ini tidak akan dapat dirasakan dalam waktu dekat
ini. Tentu saja, dengan tidak dilakukannya kebijakan moneter untuk
mengendalikan nilai tukar rupiah pada saat ini, dolar diperkirakan akan terus
melambung, rupiah semakin melemah terhadap dolar meskipun menguat terhadap mata
uang asing lain, dan akan cukup untuk menyebabkan inflasi.
Apa akibatnya? Akibatnya harga-harga kebutuhan akan
terus naik seiring dengan pertumbuhan inflasi. Kalangan menengah keatas
disinyalir akan baik-baik saja dengan hal ini. Kalangan ini terdiri dari para
pembuat kebijakan itu sendiri, para pejabat pemerintahan dan pengusaha dibidang
jasa maupun manufaktur yang mendapat suntikan dana investasi dari kebijakan
yang berlaku. Namun, bagi kalangan menengah kebawah yang tidak mendapatkan
kompensasi apapun dari kebijakan ini akan sangat terbebani dengan harga-harga
bahan pokok yang terus melambung.
Memang benar, sektor riil dapat bergerak dan
menghasilkan output dalam jumlah tinggi. Tetapi sektor riil ini bukanlah milik
para petani gurem, pedagang kecil, pekerja kasar, kuli-kuli kecil yang jauh
dari kucuran dana investasi dan bahkan tidak diperhitungkan dalam kalkulasi
PDB. Kalangan bawah yang tidak menikmati kucuran dana investasi namun masih
harus dipaksa berkontribusi dalam pembesaran angka investasi dengan membayar
lebih saat mereka sekedar ingin memenuhi kebutuhan pokok. Tingkat harga yang
naik ini membebani dan terus mencekik rakyat miskin yang berjumlah besar di
negeri ini.
Mengingat bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang
memberikan hasil dalam jangka panjang, dapat kita pertanyakan kelak. Ya, kelak
jika memang benar Indonesia dapat meningkatkan kinerja perekonomiannya,
menghasilkan PDB tinggi dan menstabilkan nilai tukar rupiah, kira-kira berapa banyak
rakyat miskin yang hidupnya menderita, berjuang hidup dengan berdarah-berdarah
selama kurun waktu jangka panjang tersebut? Akan berapa banyak darah mereka
tertumpah demi menopang sektor manufaktur para konglomerat? Dapatkah tingginya
PDB nanti dapat menebus pengorbanan luar biasa dari rakyat kecil tak berdosa,
tak tahu apa-apa yang seharusnya berada dalam perlindungan Negara ini?
Ironis. Para pembuat kebijakan seakan-akan telah
merumuskan langkah-langkah yang tepat dengan menggunakan model-model ekonomi
berasumsi ceteris paribus.
Factor-faktor lain dianggap konstan. Namun perlu kita sadari bahwa negeri ini,
bahkan dunia ini, bukan dunia ceteris
paribus.
-IZS-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar