Senin, 16 Desember 2013

Cyclical

Life’s not getting easier every single second. Burden is not getting lighter as your arms getting stronger. Problems are not getting simpler as you are getting older. Instead, everything’s changed and going up into the next level. Maybe the life quality seen by normal opinion is getting better, a unilinear form of social change. But something inside your soul doesn’t follow this pattern. It’s cyclical form. Sometimes you’re down, but in other time you’re up. It doesn’t mean that you allowed being poor. You don’t. You definitely don’t.
If it’s about the culture and life attitude, I’m an old school person. I still use traditional point of view, and it’s kind of traditional communication I always count to be my way. The main point is viewing the news based on the person who brought it. Once I don’t give my sympathy to you, then you’re become the one I never listen to. No matter what kind of wise words you say, it’s nothing in my sense.

Senin, 04 November 2013

It's been 2 months

It’s now midnight. I saw my roommates has just stopped studying and fell onto her bed. I’m still awake. Have so much sleep this afternoon and have some task to do are the reason I haven’t slept. Instinctively, I take my pink mug, pour a sachet of coffee powder, take a coin and go out off my room. I walked to the dispenser in front of musholla. I added hot water into my mug and going back to the room.  While waiting for the coffee to get cooler, I go back to my previous position, facing task papers that I love. It’s not a joke. I actually love it to doing these tasks. Why? Truthfully I cannot explain the reason.
There are so many things happened here. In this Rain City, in this green Campus, and in this nice dormitory. Generally, my lifestyle is twice, three times or maybe more times nicer than when I was in my hometown. In my home, I have younger sisters and brothers who need to be cared. I have parents who need to be helped by me in their works. Ah, no. it’s actually me who needs to care and help them. But here, I’m only burdened by my own things. I only wash my own clothes, my own dishes, making neat my own bed, my own closet. I don’t have to go far enough to school. My classes are all in one building and it’s right in front of my dormitory. I just need to walk for about two minutes from y room door to my class door. I met so much wonderful friends. And I also got my hometown friends here as my “keluarga di rantau” that always can be my family when I feel like I missed home. The seniors, they’re so freaking nice. I think my other friends in the other campus don’t feel this way. I can almost judge it like that. Namja? I don’t exactly have them but as always, I can put on a set of attitude that can make me an independent girl who doesn’t really need them. In other side, I have some namja caring me actually. One of them is the one I gave my sympathy. Haha, am I too optimistic or, what? I don’t care. In short words, it’s really fun being here right?
But what the hell that I cried calling my mom last night? Embarrassing!
It has just two months and I already missing home? Asshhh look around shawty! I am in the very nice place in a nice time. The feeling of religious situation you can enjoy at anytime here. Wasn’t this enough?
Of course.
Well, anything going nice in the right path continuously is impossible. There’s always be some pebbles on the road. And there’s always be uncommon story in every place. Here it is. Maybe these things looked like bad things. Shame that have to be covered somehow. But I think it is the color. Different things that make our existence doesn’t same.


Senin, 14 Oktober 2013

THE ORPHANAGE AND THE UNLUCKY KIDS




It was my second time visiting an orphanage. The first one I did with my PASKIB friends. It was at Anggun’s birthday. We gave them some of our stuff. I haven’t really got the feeling that day. Because it was in my hometown. I was still in home with my precious family and I didn’t know the feeling of being far from them.
So the second was so much special. Cause it’s far away from my hometown. It’s around 3 kilometers from my recent campus. When I first came to the orphanage, there was a cute little girl. She was around 3 or 4 years old. I smiled brightly to her and she smiled shy. I ask for her name and she answered “Farhain”. Such a beautiful name. I gave her my candy and she becomes so close to me suddenly. I pull her up and bring her with me along the rundown. It reminds me so much of my own little brother in my own home.
Generally but I think it means all of them are kind kids. They’re so welcome when I arrive there with my folks. They all have very nice ethical appearance. They’re clean and neat. Far from my previous mindset that said if this City’s kids are bad.
In my opinion, they’re just luckily unlucky.
ORIGAMI
If I can turn back time until I’m in my eighth year school, I will say so much thanks to Mita for giving me very very beneficial tutorial in making origami. At so much time after that, somehow they always bring their own miracle. These origamis did. Once again, it was happened today, five years after I can make my first origami. The kyeoptas I always talk about with Sasa just come to me and friendly asking about how to make the origami. I gave them the tutorial happily of course. I praised them who can make it successfully, and I bullied them who failed. These kinds of things really help me in making interaction with them.
CANDY
There was other thing helping my interaction, it’s the small marshmallow or we used to call it ‘candy’. It helped me much about the kids in the orphanage, and helping bullied by those namjas -_-“. The last one is not something I was planed.



Jumat, 04 Oktober 2013

KRITIK UNTUK PERTANIAN ORGANIK


“Kita harus terapkan itu pertanian organik. Tidak usah kita memberikan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida bahan kimia. Merusak kesehatan saja. Kita himbau agar semua petani-petani menerapkan pertanian organic.” Seorang ahli pertanian berkata dalam sebuah forum internasional.
“Hei bung, apa maksud anda berkata begitu?” seorang ahli pertanian dari Indonesia menyeruak, bersuara.
“Bukankah dengan pertanian organik itu, maka produksi tanaman yang dihasilkan akan menurun? Seperti yang kita tahu, tanpa pupuk-pupuk kimia dan pestisida maka produktivitas tanaman akan rendah.”
“Benar. “
“Lalu, apakah anda tidak melihat keadaan manusia-manusia di Afrika dan beberapa Negara tertinggal lainnya? Termasuk juga sebagian Negara Negara Asia?”
“Hm?”
“Anda tahu betapa tandusnya Benua Afrika? Betapa tanah tandus tidak dapat menghasilkan bahan pangan yang dapat mencukupi hajat hidup mereka! Selama ini saudara-saudara hidup dari pasokan bahan makanan yang kita ekspor kepada. Dan itupun masih belum cukup. Fakta menyatakan bahwa masih banyak terjadi kasus kelaparan. Bagaimana mungkin kita berani membuat produktivitas bahan pangan menurun dengan menerapkan pertanian organik, sementara saudara-saudara kita bergantung kepada kita untuk sekedar makan? Pertanian organic hanya cocok untuk kalangan mampu, sedangkan di lain sisi, sistem ini membunuh saudara-saudara kita yang lain.”
Demikian cerita yang disampaikan Bapak Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pertanian di depan kelas. Beliau bercerita dengan penuh semangatnya seakan memutar kembali memori waktu kejadian itu terjadi. Ya, ahli pertanian dari Indonesia itu tak lain dan tak bukan adalah sang Dosen. Tak akan ada yang tahu kalau beliau merupakan seorang ahli pertanian jika tak ada teman-teman yang bertanya mengenai pertanian. Karena jawaban beliau selalu luar biasa memuaskan. Jawaban-jawaban ini kebanyakan didasarkan pada pengalaman beliau saat hadir dalam berbagai seminar internasional, saat beliau terlibat dalam kebijakan pertanian di pemerintahan pusat, pun saat beliau menyelesaikan program doktoralnya di Amerika. Masih dua kali pertemuan kami dengannya –karena begitu sibuknya beliau, seringkali dosen penggantilah yang memberikan materi- tanpa beliau memperkenalkan diri maupun menampilkan CV, kami tahu bahwa beliau adalah asset berharga bangsa ini.
Jika ditanya, “Apa pendapatmu mengenai pertanian organik?” bisa dipastikan sebagian besar kita akan menjawab mantap “Saya mendukung pertanian organik. Karena pertanian ini sangat menghindari penggunaan bahan kimia jadi baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan.” Ataupun jawaban-jawaban senada lainnya.
Jika ditilik dari sisi kesehatan pangan saja, tak ada yang salah dari anggapan positif mengenai pertanian organik. Akupun berpendapat demikian selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan mulai dari Sekolah Dasar dimana aku pertama kali mengerti tentang konsep pertanian organik. Jika sekarang aku mengingat pemikiranku dahulu, aku merasa cupet tiba-tiba. Betapa sempitnya isi kepalaku waktu itu. Betapa terbatasnya ruang pandangku selama ini.
Kemudian aku teringat saat masih menjalani matrikulasi. Mata pelajaran yang dijatahkan ke kelasku adalah Kimia Umum. Aku ingat saat Dosen sesi UAS menyampaikan pada kami pendapatnya mengenai pupuk-pupuk kimia. Aku baru paham bahwa beliau ini rupa-rupanya salah seorang kritisi pertanian organik. Seperti yang dipelajari, tumbuhan memerlukan zat Natrium (Na) dan Magnesium (Mg) untuk bisa tumbuh dan berkembang. Kebutuhan Na dan Mg yang tidak bisa dipenuhi oleh tanah, kemudian disuplai dengan pemberian pupuk. Pupuk kandang mengandung Na, begitupun pupuk kimiapun isinya juga Na. Dosen Kimia itu berkata, “Dimana-mana yang namanya Natrium itu ya natrium saja. Rumus Na ya tetap Na. saya agak meragukan pendukung pertanian organic yang mengatakan bahwa pupuk kimia itu tidak lebih baik dari yang alami. Toh yang alami menyuplai Natrium, pupuk kimiapun juga berupa Natrium.”
Begitulah, informasi kecil yang ingin saya bagi.
Pertanian organik sekarang mulai banyak dikembangkan bahkan oleh bangsa kita. Memang mutunya jika ditinjau dari kesehatan adalah sangat baik. Namun produktivitas sangat rendah bahkan bisa berkurang lebih dari setengah hasil produksi yang dengan penggunaan bahan kimia. Dan harga bahan pangan organikpun tiga kali lebih tinggi dari bahan pangan biasa. Jika demikian, bagaimana rakyat miskin bisa makan? Akankah produktivitas rendah dan harga yang tinggi ini mampu memberi makan bermilyar-milyar masyarakat dunia?
Logikanya, tidak.

Senin, 06 Mei 2013

[KDrama] GHOST


                Jika pada akhirnya aku harus punya bias, dengan tidak mengurangi rasa hormat aku akan memilih Script Writer nya Korean Drama ‘GHOST’ (2012) yang dibintangi oleh petinggi So Jisub.
                Kenapa begitu?
                Karena bagaimanapun, dalam proses penulisan Script Kdrama GHOST ini jelas membutuhkan pemahaman mendalam tentang seluk beluk Hukum, Proses Peradilan, Kinerja Kepolisian, Kriminalitas, dan tentu saja Teknologi Informasi. Bagaimana script writer itu memadukannya menjadi 20 episode penuh suspense merupakan proses yang mengagumkan. Karya yang mengejutkan, estetik, detail, dan magnifikan!
                Aku sudah hampir mengklik button ‘vote’ di salah satu situs KDrama fans yang biasa kukunjungi, sebelum akhirnya aku membuka hasil voting dan menemukan bahwa sebelum aku mengklik button itu saja, GHOST sudah berada di puncak voting.
                Nggak main-main. GHOST adalah drama yang serius kerennya. Salah satu drama yang membawa nafas berbeda. Karena sejak aku masih TK, Drama Korea selalu identik dengan romantisme dan melankolis. Mulai dari Winter Sonata, Endless Love, Sassy Girl, Princess Hours, sampai jamannya Boys Before Flowers semua masih serba romantisme dan melankolis. Gebrakan mulai ada sejak ditayangkannya Jewel in the Palace yang notabene adalah Drama Kolosal. Lalu bermunculanlah drama kolosal lainnya, yang cukup anyar adalah The Moon that Embrace the Sun. Kemudian, dunia KDrama dikejutkan dengan kemunculan Lee Minho yang lebih dulu dikenal sebagai Goo Jun Pyo, tiba-tiba melakukan aksi laga sebagai Lee Yun Sung dalam City Hunter.
                Dan akhirnya, muncullah GHOST dengan memakai bintang-bintang lama namun tak kehilangan Kharisma. GHOST sungguh jauh dari kesan romantic. Sedangkan melankolis disamarkan dengan kata lain yaitu tragis dan ironis. Seusai menamatkan keduapuluh episode GHOST, aku yakin nggak akan ada minat untuk menonton Drama dalam beberapa waktu kedepan. Kuduga, akan cukup lama. Karena setelah menontonnya, semua deretan drama yang pernah kutonton tiba-tiba langsung kehilangan harga. Yang masih menyisakan ‘sedikit’ harga mungkin hanya City Hunter dan 49 Days. Tapi tetap saja, GHOST berada jauh di atas kedua drama itu.

                Cerita GHOST berawal dari Kim Woo Hyun, Pimpinan Skuad Cyber Crime Unit 1. Yaitu anggota Kepolisian Republik Korea yang khusus menangani Cyber Crime, dan kasus kejahatan lain yang memanfaatkan Teknologi Informasi. Tentu saja Skuad ini mempunyai pemahaman dan kemampuan yang nggak main-main soal bukti digital. Mereka sumpah keren banget! [saat aku menulis ini, aku sadar aku mudah terkesan dengan orang yang paham IT *cough* E.R.P *cough again*]. Cukup kagumnya, kembali ke Woo Hyun. Di sisi yang berlawanan, ada sosok hacker professional yang menamakan diri dengan Hades. Sumpah ni hacker lebih keren! Woo Hyun bekerja keras untuk menangkap Hades. Dan kemudian, mereka dipertemukan dalam kasus pembunuhan artis cantik Shin Hyo Jeong. Dan apa yang terjadi? Belakangan Woohyun mengetahui bahwa Hades selama ini ternyata adalah Park Ki Young, temen deket, yang udah kaya sodara sendiri sama Woo Hyun waktu mereka sama-sama masuk Akademi Kepolisian. Mereka adalah Roommate di asrama. Namun mereka sudah lama nggak saling berhubungan satu sama lain terutama sejak Ki Young keluar dari Akadami Kepolisian secara tiba-tiba dan menyatakan ketidak-percayaannya pada polisi. Saat Ki Young bertemu Woo Hyun, saat itu statusnya adalah tersangka kasus pembunuhan Shin Hyo Jeong. Namun Ki Young bersikeras tidak membunuhnya, Woo Hyun pun juga berpikir demikian. Namun saat terjadinya pembunuhan itu, Ki Young atau hades diidentifikasikan telah meng-hack laptop Shin Hyo Jung. Apa yang terjadi selanjutnya? Silahkan menonton sendiri daripada saya merusak suspense ya! ^^V
                Ada juga keterlibatan image ‘OPLAS’ nya Korea. Haha, untungnya cerita itu settingnya di Korea, jadi ya masuk akal banget pas Ki Young muncul berwajah Woo Hyun. Coba di Indonesia, langsung deh berubah jadi cerita horror.
                Oh ya, nggak ketinggalan dan yang nggak kalah keren adalah soundtracknya. Drama ini nggak punya banyak soundtrack lagu karena emang cocoknya gitu. Yang lumayan banyak dan keren itu di instrumentalnya yang akan menambah suspense pastinya. Favoritku adalah soundtrack yang dinyanyikan Block B, judulnya Burn Out. Baik versi vocal maupun instrumental dua-duanya keren abisssss.
                Okay then, my last word is: Ki Young-ah, marry meeeee!!!

Minggu, 10 Maret 2013

JULIA


            “Berhentilah menyusahkan hidupku, Julia Wu!” bibiku meneriakiku.
Kata-kata itulah yang terakhir kudengar saat aku beranjak meninggalkan lantai dua, menuju kamarku: sekubus bangunan berukuran 4x4 m yang bertengger di atap datar dari bangunan ini. Satu-satu kakiku menapak anak-anak tangga.
Tersisa sesak, sakit hati, kecewa, menyesal dan beribu penjelasan yang kuurungkan untuk kuberikan pada bibiku yang kusayang. Lahir batin aku merasa gagal. Gagal menyayangi siapapun yang kusayang. Aku tertatih terluka membawakan nyawa, namun mereka berkata ‘hanya’. Meski tercabik setengah mati, aku tak pernah bisa menyalahkan seorangpun. Satu-satunya yang paling mudah untuk kulakukan adalah menyalahkan dan menyesali keberadaanku sendiri. Aku sayang, tapi sayangku membawa sakit. Aku punya penjelasan, tapi tak bisa kuungkapkan.
Semua perasaan yang menyesaki dadaku menyiratkan sinyal pada syaraf-syaraf menuju ke otak. Gundukan putih di kepalaku mengomando kelenjar air mataku untuk beraktifitas secara tiba-tiba. Tapi akal sehatku menolak.
Nanti saja.
Nanti sajalah saat aku sudah berada di kamar mungilku, saat itu aku boleh menangis tanpa ada yang menyadarinya.
Semakin kupercepat langkah karena kelenjar air mataku juga beraktifitas secara agresif dan radikal. Ya Tuhan, bahkan tubuhku sendiri juga menghukumku.
Aku telah sampai di anak tangga terakhir saat tetes air mata pertamaku di ujung mata. Sekuat hati aku menahannya. Sebab dia berdiri disana. Di bawah bintang malam, seorang buronan polisi berdiri  menyedihkan. Lelaki pincang yang memakai krek di sisi kanan tubuhnya. Memandangku dengan iba.
“Gege…” ratapku menanggapi kehadirannya.
Tak terbayang olehku, bagaimana seorang buronan pincang bisa sampai di atap datar yang terletak di atas lantai 3 sebuah gedung di pemukiman padat penduduk? Sungguh, Kakak lelakiku ini penuh perjuangan.
“Bibi memarahimu, Julia?”
Dengan keterpaksaan, aku menyunggingkan senyum lebar menampakkan gigiku. Tak sampai hati aku membebani satu lagi orang yang kusayang dengan cerita penuh rengek manja dari seseorang yang menahan kesedihan dan kekecewaan. Aku beranjak dewasa.
“Nggak papa ge, Cuma telat pulang … lihat! Jam delapan malam aku masih pakai seragam.” Kataku membuka lengan. Memperlihatkan seragam identitas SMA ku yang penuh keringat.
“Memangnya hanya sekali ini kamu telat? Enggak kan? Ada apa, Ju? Aku susah payah kembali kemari bukan untuk kau bohongi.”
Air mataku terbentuk di sudutnya tiba-tiba.
Kata-kata Gege yang menyalahkanku karena telah membohonginya terasa sangat menyakitkan. Aku berbohong bukan untuk menyakitinya, tapi justru menjaga perasaan hatinya, tapi sekali lagi, hal yang kulakukan tak bisa diterima orang yang kusayang.
Perasaanku tersayat lagi.
Aku tak bisa menahan apapun lebih lama lagi. Aku mulai terisak ….
Menunduk di depan Gege. Aku tak sanggup memandang wajahnya. Kututup wajah menangisku dengan kedua tanganku. Aku begitu tenggelam dalam tangis saat aku merasakan kedua lengan Gege memeluk tubuhku, menjatuhkan krek di sisi kanan tubuhnya, tak peduli dengan cacat kakinya.
“Menangislah, Ju … menangislah adikku sayang … saat aku tak disini, kau pasti telah mengalami banyak hal.”
Tangisku semakin menjadi dalam pelukannya. Seakan gege tahu segalanya. Seakan ia menyelami lautan perasaanku yang meluas secara signifikan dengan mendalam. Aku telah mengalami banyak hal. Aku mengalami banyak hal. Banyak sekali hal-hal yang kualami.
“Gege …” ratapku dalam pelukannya.
“Iya, Ju …” jawab Gege.
“Kris Gege …” ratapku memanggil nama Gege.
“Menangislah sebanyak yang kau mau. Gege disini, Ju” jawab Gege lagi.
Tempo isakan tangisku meninggi. Bahu terguncang. Air mata yang mengalir hangat, tak ada yang mulai mendingin. Alirannya menderas tiba-tiba.
Dan aku masih belum bersuara.
Aku tenggelam dalam ratapan.
Meratap sebuah kisah tentang Kris Wu dan Julia Wu. Setahun yang lalu masih hidup damai dengan kedua orang tua mereka. Namun malam itu datang tanpa ada yang meramalkan sebelumnya, Kris dan Julia diyatim-piatukan oleh sebuah kecelakaan pesawat yang membawa mereka pulang dari Guangzhou usai merayakan imlek bersama keluarga Ibu mereka yang notabene orang asli Tiong Hoa.
Mulai hari itu kisah hidup mereka berubah. Tinggal bersama saudara ayah mereka. Orang asli  Madura. Dan tragisnya, keluarga yang tak merelakan pernikahan kedua orang tuanya, sehingga secara otomatis, tak satupun dari mereka yang merelakan keberadaan Kris dan Julia. Dua anak ini hidup di dunia asing dengan makhluk yang sama sekali tak bersahabat. Kris dan Julia bertahan dengan cara yang menakjubkan. Disaat mereka dipandang dengan penuh kebencian, mereka membalasnya dengan perlakuan penuh cinta. Satu-satunya cara hidup yang diajarkan pada mereka semenjak kecil adalah hidup dengan menebar cinta.
Namun hati yang dilingkupi benci itu terasing dengan sentuhan cinta. Sama sekali tak tergetar dan tergerak disuguhi sikap penuh sayang. Justru semakin timbul spekulasi buruk dan memunafikkan dua anak tak berdosa itu.
Suatu malam, paman mereka pulang dalam keadaan mabuk. Julia merasa lapar dan membuat sedikit keributan di dapur. namun sedikit keributan itu menjadi petaka besar. Julia dimarahi, dibentak, diteriaki bahkan dipukuli. Saat Kris datang membela, pamannya justru semakin menjadi. Menyiksa Julia dan mengibaskan tangannya menghalangi perlindungan Kris. Lalu ketidaksengajaan itu terjadi. Kris memukul wajah pamannya dengan terpaksa. Pamannya yang sedang mabuk sempoyongan ke belakang. Kepalanya menghantam pucuk meja dan berakibat fatal.
Keributan malam itu berakhir menyedihkan. Paman Julia kehilangan nyawa, Kris kehilangan kebebasannya dan menjadi buronan. Sedangkan Julia, kehilangan satu-satunya pelindung hidupnya: Kris. Kris yang setelahnya hidup serabutan.
Dan malam ini adalah kedua kalinya Kris kembali ke rumah itu semenjak ia kehilangan kebebasannya. Kedatangannya yang pertama, kakinya masih sehat. Secara diam-diam memanjat bangunan hingga sampai ke kamar Julia. Ia datang dengan riang. Menguatkan seorang Julia yang secara fisik semakin kurus. Dan secara mental semakin tertekan.
“Hush … semakin malam, jangan keras-keras manangisnya, nanti ada yang dengar…” kata Gege.
Aku diam. Mengusap mata dengan sebelah tangan. Sedang sebelahnya lagi menopang tubuh Gege. Lalu aku menuntun gegeku untuk duduk di kursi panjang lima langkah di depan pintu kamar.
“Apa yang terjadi dengan kakimu, Ge?”
“Kecelakaan kecil. Dua hari yang lalu. Jangan khawatir. Aku bertemu seorang dokter cantik dan baik hati. Dokter itu yang merawat lukaku ini. Katanya tak akan lama hingga aku bisa berjalan normal.” Kata Gege dengan senyum manisnya.
“Bagaimana gege bisa memanjat sampai ke sini dengan kaki pincang?”
“Siapa bilang aku memanjat?”
“Lalu?”
“Aku terbang.” Kata Gege syarat senyuman.
“Aku rindu gege …” kataku sambil melingkarkan lenganku ke pinggang gege.
“Berceritalah Julia. Apa saja yang ada di pikiranmu, katakanlah …”
“Aku tak tahu, Gege …”
“Hm?”
“Aku tak tahu aku ini orang macam apa.”
“Julia baik dan penyayang.” Gege tersenyum.
“Tapi aku hanya bisa mengecewakan orang yang kusayang.”
“Julia, kamu nggak pernah mengecewakanku.”
Aku terdiam. Mau menangis lagi.
“Aku mengenalmu sebagai seseorang yang punya konsep kebahagiaan sederhana. Bahagia saat yang lain bahagia.”
Aku memandang Gege.
“Berceritalah lagi, Ju, aku ingin mendengarmu …” lanjut Gege.
Aku menengadah. Memandang taburan titik titik bintang pada lembaran langit hitam.
“Gege, manusia itu bermacam-macam jenis ya? Mereka masing masing punya cara hidup berbeda-beda. Juga punya bentuk kebahagiaan yang berbeda-beda.”
“Kau bertemu masalah karena hal itu?”
Aku mengangguk.
“Aku melakukan suatu hal untuk melukiskan senyum di wajah seseorang. Tapi apa yang kulakukan juga menoreh luka di hati seseorang yang lain.”
Hening.
“Keputusan yang kuambil tak pernah bisa memuaskan semua pihak.” Sambungku.
Gege melingkarkan lengannya ke pundakku. Aku merasa tenang. Kepala beratku bisa tersandar ke bahu yang benar.
“Juga, aku melakukan banyak hal dan tidak melakukan banyak demi kebahagiaan orang-orang di sekitarku. Tapi hanya sedikit yang pada kahirnya merasa bahagia karena itu. Seringkali yang aku dapatkan justru kekecewaan yang menorah luka.” Ratapku.
Aku memandang gege untuk menanyakan satu hal.
“Gege, haruskah aku melewati beribu prahara dan mendapat ratusan luka untuk dapat merasakan setitik bahagia?”
Aku merasa aku ingin menangis lagi setelah menanyakannya.
Tapi Gege hanya tersenyum dengan memasang wajah setenang air danau di malam hari.
 “Jangan menyerah saat kau gagal melukis senyum puas di wajah orang-orang yang kau sayang. Akan ada waktu dimana mereka akan menyadari usaha kerasmu membahagiakan mereka. Ratusan luka yang kau dapat sebelum setitik kebahagiaan justru merupakan suatu hal yang membuat kebahagiaan kecilmu itu menjadi semakin besar dan tak ternilai harganya. Julia … ingatlah satu hal. Tak perlu kamu berharap balasan kebaikan ketika membaiki orang lain. Berharaplah hanya pada Yang-Kuasa, bukan pada manusia… Dia yang memeberi luka, Dia yang menghapus luka, Dia yang memberi bahagia, Dia juga yang bisa mencabutnya. Serahkan segalanya pada Yang-Kuasa. Tak akan ada yang perlu kau risaukan.” Gege berkata-kata tanpa cela.
Malam itu, di atas balkon, tepat dibawah kemerlap bintang, aku yang sehari-hari bersikap hemat kata menjadi begitu cerewet. Banyak hal yang mau kuceritakan pada Gege akhirnya. Dengan masih memakai seragam, aku tenggelam dalam percakapan yang melegakanku lahir dan batin.
Hari ini adalah salah satu hari terberat dalam hidupku. Mendapat dampratan di pagi hari dari orang-orang rumah, sikap tak bersahabat dari beberapa teman di sekolah, kena marah dari pemilik toko tempatku bekerja part time, dan kembali ke rumah dengan lelah dan tanpa sengaja menabrak pot mahal hingga pecah. Sekali lagi dampratan dari orang rumah. Dan berbagai peristiwa lain yang menyayat hati dan perasaanku. Membumbui kelamnya hariku.
Di saat aku mengalami berbagai hal buruk itulah, di ujungnya, aku punya Gege yang menempuh perjalanan sulit untuk sekedar memelukku. Memberiku kekuatan, memaksaku bercerita berbagi kekecewaan…
Di tengah segala kesakitan dan luka dalam kisah hidupku, aku bersyukur pada Yang-Kuasa untuk memberiku malam ini …
Namun dalam keremangan malam, tak ada satupun dari kami yang menyadari keberadaan orang lain di ujung tangga. Tak lama ia berada di sana. Tubuh besarnya menuruni tangga tanpa suara. Menuju ke lantai tiga, tepat dibawah kamar-atap ku. Tepatnya, menuju sebuah gagang telepon di sudut ruangan. Ia mengangkat gagangnya. Memencet beberapa tombol sambil membaca angka di buku telepon.
Hening. Lalu….
“Halo, kantor polisi?”
Dan orang itu kemudian berbicara tanpa sedikitpun rasa iba.