Rabu, 21 September 2016

“KARAKTER” Part 1




Kelopak mataku terbuka tiba-tiba, kesadaranku dibangkitkan paksa oleh satu suara ringkikan kuda ditengah malam yang membara. Api menjalar cepat ke rumah-rumah kayu beratap jerami, membakar satu gapura hingga berikutnya, malam yang tak pernah kutemui namun terekam hebat dalam kepalaku. Malam dimana pemberontak menerobos masuk keraton arya dwipa, malam dimana pangeran wisnu dan puteri wangi diloloskan oleh raja untuk bersembunyi menyelamatkan diri.
                Hempasan pedang membawaku ke arena lainnya. Kini aku berada di sebuah semak-semak di salah satu pinggiran kota Surabaya, tahun 2011. Lima langkah  didepanku ada sebuah raket tergeletak begitu saja, dan lima langkah berikutnya ada seorang pemuda berlutut menangis mengerang mengutuk hujan. Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya, pun menginjakkan kaki di tempat ini. Tapi aku bisa menjelaskan padamu detail apapun yang terjadi dengan sangat tepat. Aliansyah, nama pemuda itu sedang menangis sehabis bertanding bulutangkis dengan Dr. Diman yang menceritakan satu kenyataan pahit padanya.
                Aku menengadahkan wajahku ke atas, menatap hujan, menyambut jatuhnya. Ketika aku menurunkan pandanganku, scene sudah berganti kembali. Kini aku ada berada di salah satu sudut taman di kota London. Di depanku adalah seorang gadis dan seorang lelaki yang sedang mengobati luka di dagu gadis itu. Seumur hidup aku belum pernah ke London, apalagi berkenalan dengan dua orang di depanku itu. Tapi aku tahu benar bahwa si gadis bernama Kim, dan lelaki di depannya adalah dokter ahli bedah kosmetik bernama Eddy, aku bahkan bisa menceritakanmu lebih detail bagaimana Kim mendapatkan luka di dagunya dan apa yang akan terjadi setelah adegan ini. Aku tahu betul.
                “Kring……Kring……”
                Suara alarm menarikku kembali ke dunia realita. Menyisakan potongan-potongan gambar mimpi yang berputar seperti film medley. Teori mengatakan bahwa saat terbangun, manusia hanya bisa mengingat paling banyak sekitar 20% dari total mimpinya. Kudakwa sendiri bahwa masih banyak scene yang kualami dibanding apa yang kuingat. Tetapi 20% nya saja sudah mampu menggerakkan jemariku untuk segera menelusuri file di laptopku. Perlu sekitar tiga menit bagiku untuk akhirnya menemukan folder yang kucari. Folder bernama ‘cerpenku’ tersembunyi dalam dengan alamat direktori yang panjang. Empat tahun lalu seakan jariku dapat dengan cepat menemukannya, tapi tidak sekarang. Folder ‘materi kuliah’, ‘referensi paper’ dan ‘jurnal skripsi’ lah yang seringkali kutuju secara default.  
                Aku kehilangan citarasa sastra.
                “Line!”
Suara handphone mengganggu kesyahduanku mengutak atik folder usang ini.
Dari Zia
“File IDSC udah gue kirim ke email lu ya, cek dulu coba”
“Iya nanti ya, sinyal lagi bapuk.”
“Yoo”
“Eh, Zi”
“Naon?”
“Gue baru mimpi.”
“Mimpi naon? Ketemu dosbing skripsi?”
“Bukan, lebih serem.”
“Naon dah”
“I feel like, I was getting in my stories that I have made myself.”
“Huh?”
“Cerpen-cerpen yang pernah gue tulis, karakter-karakter yang pernah gue bikin. I was just seen them all.”
“Ren?”
“Hm?”
“Lu pernah nulis cerpen?”
Ah, aku lupa bahwa Zia mengenalku disaat aku sudah tak familiar dengan penulisan sastra.
“lupa gue lu kan ga tau gue pas SMA yah aha.”
“gila”
“naon?”
“gue pikir lu tuh orang paling realistis yang segala omongannya berdasarkan data. Ga nyangka gue kalo lu pernah nulis cerpen juga.”
“yeah it was just years ago…”
Begitulah.
Sastra, fantasi, kreasi adegan dan permainan kata hanyalah mainanku ketika remaja. Pelarianku semasa SMP dan SMA dari buntunya mengerjakan soal-soal fisika Archimedes, atau matematika persamaan lingkaran, atau saat aku gagal menghafal table periodic.
Memasuki dunia kuliah benar-benar mengubahku menjadi sosok yang lain dengan pola pikir, cara pandang dan cara bertahan hidup yang sama sekali berbeda dari diriku sepenuhnya. Aku tak akan bisa bertahan jika aku terus berlari dan menciptakan dunia-dunia baru yang bisa kukendalikan melalui software pengolah kata dalam laptopku. aku harus bertahan dengan tetap tinggal di kenyataan. Aku harus bertahan dengan meluruskan jalan hidupku, bukan mengutak atik nasib karakter yang kuciptakan sendiri.
                Dan kemudian aku jatuh begitu dalam. Masuk ke kolam fakta yang menuhankan empirisme. Aku mulai menulis karya-karya ilmiah, proposal usulan business plan, paper, penelitian kecil dan essay. Aku tak bisa berkata tanpa data, aku tak bisa menulis sesuatu yang tidak terbukti secara logika, aku tak bisa percaya pada omong kosong fantasi, tipuan ilusi, apalagi kembali menciptakannya. Aku telah jauh dari bermain-main kata dan merangkai sastra, aku sudah jauh dari memfantasikan adegan khayal, negeri antah berantah dan karakter unik.
“lupain lah, mungkin gue cuma kangen sama karakter-karakter gue itu.” Balasku kemudian.
“atau mereka yang kangen sama elu.”
Aku merenung, tanpa membalas.
##

“Dahayu, Faktor makro, harga minyak dan Corruption Perception Index Negara Asia, kamu bisa lanjutkan itu.” Kata Pak Har pada Hayu.
“Alma, cari lagi jurnal tentang volatilitas harga saham sektor property.” Lanjut beliau.
“Hafidz, hmmm … kamu cenderung ke perdagangan internasional komoditas pertanian, tapi itu bukan bidang keahlian saya, coba baca lagi tentang topic moneter yang nyerempet-nyerempet ya.” Masih kata beliau.
“Cukup sekian dulu bimbingan hari ini, yang lain boleh keluar, Renata tunggu disini dulu. Sesi kamu belum selesai.”
“Baik Pak.”
Ketiga teman seperjuangan meninggalkan ruangan dengan tatapan mata memandangku kasihan. Hayu membisikkan kata-kata semangat ketika melewati pundakku.
Aku menghela nafas.
Bersiap mendengarkan apapun caci, maki, kekesalan dan hal sejenisnya dari pak Har.
“Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Renata?”
Aku mengangkat wajah menghadap pak har penuh selidik.
“Kamu paling banyak membaca jurnal dibanding kawan-kawanmu, kamu paling banyak meresume dan bahkan dapat menceritakannya secara mendetail. Tapi, semua orang pun tahu kamu tak punya fokus. Teman-temanmu tahunya kamu masuk konsentrasi moneter, tapi saat kamu mengikuti conference tentang microfinance kamu juga berorasi dengan meyakinkan. Bahkan kamu tak menunjukkan focus ke salah satu saja topic dalam konsentrasi moneter. Pasar modal kamu baca semua, kebijakan moneter kamu jelaskan dengan baik, apa lagi?”
Aku diam. Beliau sedang membacaku. Aku tak tahu apakah harus merasa dipuji atau dicaci.
“apa bahkan sekarang kamu masih ingat model modifikasi M-GARCH pada jurnal yang kamu baca minggu lalu?”
“Tidak, pak.”
“Itu dia masalahnya. Kamu melibas semuanya dan tak memilih salah satu untuk didalami. Di satu waktu kamu jago semuanya, tapi sedetik kemudian kamu juga lupa semuanya. Apa gunanya?”
Aku semakin dalam masuk pada keterdiaman.
Ternyata aku sedang dicaci.
“apa masalahmu, nak?”
Aku menggigit bibir, berusaha mencari diksi yang tepat untuk mengekspresikan diri. Jarang-jarang ada yang mempertanyakan masalahku.
Ternyata aku dibantu juga.
“Saya… merasa semua materi itu menarik pak. Apapun yang saya baca membuat saya ingin menelitinya lebih lanjut. Saya tidak bisa hanya berhenti dan mendalami satu hal saja. Saya akan cepat bosan.”
“Hm… begitu rupanya.”
“Iya Pak.”
“Baiklah begini saja, tentang masalah ini siapapun tidak bisa membantumu lebih banyak, termasuk saya sebagai dosen pembimbing. Bagaimanapun skripsimu harus selesai. Dan kamu harus bekerja lebih keras untuk sekedar menemukan topic. Baca banyak jurnal tentang corruption perception index atau volatilitas return beberapa jenis efek. Batasi di negara GCC (Gulf Corporate Cooperation) atau OIC (Organization of Islamic Cooperation). Kamu sedikit lebih handal tentang hal-hal itu. Ingat. Jangan tergoda untuk membaca topic lain dulu, selesaikan dulu skripsimu. Kita bertemu lagi minggu depan.”
“Baik Pak, terimakasih.”
##
                “God always give me the heaviest burden and the most difficult part.” Kuketikkan pada kolom chat pada Zia.
                “Naon deui, neng?”
                “disaat temen-temen sebimbingan gue udah pada dapet topik, gue masih harus baca puluhan jurnal untuk sekedar nyari tahu minat bakat gue dimana L sedih luteeeh”
                “yaudah yok nyari jurnal, sini gue temenin.”
                “Yo, besok ya jam 8 di perpus lantai 4.”
                “OK. See ya.”
                Hufft
                Aku menghela nafas melepas penat. Bukan medan yang sulit yang kukeluhkan sesungguhnya. Tetapi ekspektasi semua orang yang beranggapan bahwa aku akan melewati tahap skripsi ini dengan sangat mulus tanpa ada kesulitan berarti. Kata-kata seperti “Ah, Ren mah pasti bisa, jago dia.” Atau “Gimana Ren? Udah revisi berapa kali? Pasti lu mah udah jauh ya.” Dan kalimat-kalimat semacamnyalah yang membebaniku tanpa henti.
                “Line!”
                Ada chat masuk. Mungkin Ibunda yang menanyakan kabar kesehatanku.
                “You have invited to join this group.”
                Grup apa?
                Seingatku aku tak bergabung dengan komunitas, organisasi atau geng apapun semester ini. Sepenuhnya focus pada skripsi. Grup baru apalagi ini huh?
                “KARAKTER”
                Begitulah nama grupnya.
                Karena penasaran, aku klik button ‘join’.
                And here I am.
                “Apa-apaan ini?” aku berteriak spontan tanpa mengenal waktu dan tempat. Beberapa pasang mata memandangku dengan tatapan menghakimi.
                Zakky, Aliansyah, Raden, Bonita, Dokter Soedirman, Pangeran Wisnu Adhinata, Puteri Wangi Cendana dan bahkan Talam!
                Mereka adalah nama-nama karakter yang kuciptakan dalam beberapa cerita pendek. Grup apa ini sebenarnya?
                “Good afternoon, Author. Selamat datang ke grup ini. Tak ingin melanjutkan sekuel setelah membunuhku?” Akun dengan nama Puteri Wangi Cendana mengirimkan chat nya ke grup.
                “Hai, Author. Masih ingat aku? Yang katamu gila tapi dokter bedah. Yang membuatmu mendapat gelar ‘penokohan tidak dominan’ dan maaf, harus duduk di peringkat 2 pada lomba cerpen lalu.” chat berikutnya dari akun Dokter Soedirman.
                Cerita yang sangat tepat. Judul ceritanya adalah ‘Satu Organ’. Ada aliansyah juga, cerpen ini yang membuatku mendapat juara 2 di lomba cerpen universitas lokal dahulu kala.
                “Aku baru diciptain, pasti masih ingat kan?” yang ini dari Kim. Karakter paling baru yang kuciptakan.
                Aku mengernyitkan dahi. Mencoba mengorek ingatan dan mencari tahu siapa yang kira-kira cukup iseng untuk membuat grup aneh ini dan menerorku dengan hal ini.
                Kawan SMA ku?
                Siapa kawan SMA ku yang suka membaca ceritaku?
                Mira? Angga? Nova? Dea?
                Ya mungkin salah satu dari mereka. Pasti mereka yang dengan isengnya membaca ulang blog ku dan mereka-reka adanya grup ini dan entah bagaimana cara mereka menciptakan akun-akun palsu itu.
                Baik, akan kuhubungi mereka satu satu. Awas. Akan kutemukan.
                Tetapi,
                Baru saja aku hendak menghubungi Mira, satu chat lagi masuk ke grup aneh itu.
                “hei, Author. Kemana saja anda hah? Anda bahkan belum menyelesaikan cerita tentang aku dan Beta.”
                Namanya adalah Alfa.
                Dan tidak mungkin itu alfa.
                Alfa dan Beta.
                Adalah karakter yang ceritanya belum kuberi judul. Cerita yang kuciptakan sesaat setelah mengerjakan ujian nasional fisika.
                Cerita yang tak pernah kuunggah di blog.
                Cerita yang tak pernah kucetak.
                Cerita yang bahkan tak pernah kuperbincangkan dengan siapapun di dunia ini.
                Aku yakin tak seorang pun tahu tentang keberadaan karakter Alfa dan Beta.
                Tidak Mira, Angga, Nova apalagi Dea.
                Aku mulai menyadari kemungkinan lain yang membentur akal sehatku. Ada yang salah dengan handphone ku?
                Tidak.
                Gadget ini sepenuhnya berjalan normal.
                Ada yang salah dengan sistem kerja software ku?
                Tidak.
                Tak ada hal aneh lain yang terjadi.
                Dan saat setiap kemungkinan masuk akal itu tereleminasi, aku mulai merasakan hawa dingin melintas di jari-jariku. Menjalar ke lengan hingga sampai ke leher belakang dan membuatku mengangkat kedua bahu.
                Gletak!
                Tanganku menjatuhkan gadget itu.
                “Are they all really my characters that I have made? What are they doing here?”

To be continued…