Kamis, 19 Maret 2015

Negeri Ceteris Paribus




          Sejalan dengan membangkitnya kinerja perekonomian Amerika Serikat, dolar kembali menguat terhadap mata uang asing seluruh dunia, termasuk rupiah. Pelemahan rupiah menyentuh angka 13.000 rupiah per dolarnya. Jika ditarik data secara agregat, disaat rupiah melemah terhadap dolar, sebenarnya ia justru menguat terhadap mata uang asing lain seperti yen, euro, dolar Australia maupun dolar Singapura. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar tidak lebih parah dari pelemahan mata uang-mata uang lain di dunia.
Hal ini juga mungkin yang membuat Bank Indonesia sebagai Bank Central tidak melakukan kebijakan moneter dalam rangka mengendalikan nilai tukar dengan menaikkan tingkat suku bunga (dalam makroekonomi, pelemahan nilai rupiah dapat diatasi dengan melakukan kebijakan moneter menaikkan tingkat suku bunga sehingga money supply rupiah rendah karena banyak didepositkan dan pada akhirnya mencapai nilai tukar yang stabil). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 17 Maret lalu, Tirta Segara selaku Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia mengumumkan bahwa Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI rate pada angka 7.5%. Langkah BI ini sejalan dengan tujuan program kerja Presiden Jokowi yakni membangkitkan sektor manufaktur dan menggerakkan proyek-proyek infrastruktur. Pemertahanan BI rate ini ditujukan untuk menjaga stabilitas investasi sebagai sumber modal bagi sektor manufaktur tersebut. (saat BI rate tetap, masyarakat diharapkan tidak akan banyak mendepositkan uangnya, namun mengalihkannya untuk berinvestasi).
Keputusan ini dapat dihitung sebagai keputusan yang cukup bijak. Karena perbaikan nilai tukar melalui kebijakan moneter dinilai tidak lebih baik daripada kebijakan yang bertujuan untuk menggerakkan sektor riil seperti yang dilakukan pemerintah sekarang. Dengan tetap stabilnya investasi baik dari modal dalam negeri maupun modal asing, maka sektor industri, manufaktur dan proyek-proyek infrastruktur pemerintah dapat terus berjalan dan menggerakkan sektor riil perekonomian. Targetnya adalah peningkatan ekspor dan mensurpluskan neraca perdagangan, sehingga Indonesia memiliki cadangan dolar lebih dan pada akhirnya dapat menstabilkan nilai tukar.
Mekanisme diatas menggunakan dimensi waktu jangka panjang. Hasil dari kebijakan ini tidak akan dapat dirasakan dalam waktu dekat ini. Tentu saja, dengan tidak dilakukannya kebijakan moneter untuk mengendalikan nilai tukar rupiah pada saat ini, dolar diperkirakan akan terus melambung, rupiah semakin melemah terhadap dolar meskipun menguat terhadap mata uang asing lain, dan akan cukup untuk menyebabkan inflasi.
Apa akibatnya? Akibatnya harga-harga kebutuhan akan terus naik seiring dengan pertumbuhan inflasi. Kalangan menengah keatas disinyalir akan baik-baik saja dengan hal ini. Kalangan ini terdiri dari para pembuat kebijakan itu sendiri, para pejabat pemerintahan dan pengusaha dibidang jasa maupun manufaktur yang mendapat suntikan dana investasi dari kebijakan yang berlaku. Namun, bagi kalangan menengah kebawah yang tidak mendapatkan kompensasi apapun dari kebijakan ini akan sangat terbebani dengan harga-harga bahan pokok yang terus melambung.
Memang benar, sektor riil dapat bergerak dan menghasilkan output dalam jumlah tinggi. Tetapi sektor riil ini bukanlah milik para petani gurem, pedagang kecil, pekerja kasar, kuli-kuli kecil yang jauh dari kucuran dana investasi dan bahkan tidak diperhitungkan dalam kalkulasi PDB. Kalangan bawah yang tidak menikmati kucuran dana investasi namun masih harus dipaksa berkontribusi dalam pembesaran angka investasi dengan membayar lebih saat mereka sekedar ingin memenuhi kebutuhan pokok. Tingkat harga yang naik ini membebani dan terus mencekik rakyat miskin yang berjumlah besar di negeri ini.
Mengingat bahwa kebijakan ini adalah kebijakan yang memberikan hasil dalam jangka panjang, dapat kita pertanyakan kelak. Ya, kelak jika memang benar Indonesia dapat meningkatkan kinerja perekonomiannya, menghasilkan PDB tinggi dan menstabilkan nilai tukar rupiah, kira-kira berapa banyak rakyat miskin yang hidupnya menderita, berjuang hidup dengan berdarah-berdarah selama kurun waktu jangka panjang tersebut? Akan berapa banyak darah mereka tertumpah demi menopang sektor manufaktur para konglomerat? Dapatkah tingginya PDB nanti dapat menebus pengorbanan luar biasa dari rakyat kecil tak berdosa, tak tahu apa-apa yang seharusnya berada dalam perlindungan Negara ini?
Ironis. Para pembuat kebijakan seakan-akan telah merumuskan langkah-langkah yang tepat dengan menggunakan model-model ekonomi berasumsi ceteris paribus. Factor-faktor lain dianggap konstan. Namun perlu kita sadari bahwa negeri ini, bahkan dunia ini, bukan dunia ceteris paribus.


-IZS-