Minggu, 10 Maret 2013

JULIA


            “Berhentilah menyusahkan hidupku, Julia Wu!” bibiku meneriakiku.
Kata-kata itulah yang terakhir kudengar saat aku beranjak meninggalkan lantai dua, menuju kamarku: sekubus bangunan berukuran 4x4 m yang bertengger di atap datar dari bangunan ini. Satu-satu kakiku menapak anak-anak tangga.
Tersisa sesak, sakit hati, kecewa, menyesal dan beribu penjelasan yang kuurungkan untuk kuberikan pada bibiku yang kusayang. Lahir batin aku merasa gagal. Gagal menyayangi siapapun yang kusayang. Aku tertatih terluka membawakan nyawa, namun mereka berkata ‘hanya’. Meski tercabik setengah mati, aku tak pernah bisa menyalahkan seorangpun. Satu-satunya yang paling mudah untuk kulakukan adalah menyalahkan dan menyesali keberadaanku sendiri. Aku sayang, tapi sayangku membawa sakit. Aku punya penjelasan, tapi tak bisa kuungkapkan.
Semua perasaan yang menyesaki dadaku menyiratkan sinyal pada syaraf-syaraf menuju ke otak. Gundukan putih di kepalaku mengomando kelenjar air mataku untuk beraktifitas secara tiba-tiba. Tapi akal sehatku menolak.
Nanti saja.
Nanti sajalah saat aku sudah berada di kamar mungilku, saat itu aku boleh menangis tanpa ada yang menyadarinya.
Semakin kupercepat langkah karena kelenjar air mataku juga beraktifitas secara agresif dan radikal. Ya Tuhan, bahkan tubuhku sendiri juga menghukumku.
Aku telah sampai di anak tangga terakhir saat tetes air mata pertamaku di ujung mata. Sekuat hati aku menahannya. Sebab dia berdiri disana. Di bawah bintang malam, seorang buronan polisi berdiri  menyedihkan. Lelaki pincang yang memakai krek di sisi kanan tubuhnya. Memandangku dengan iba.
“Gege…” ratapku menanggapi kehadirannya.
Tak terbayang olehku, bagaimana seorang buronan pincang bisa sampai di atap datar yang terletak di atas lantai 3 sebuah gedung di pemukiman padat penduduk? Sungguh, Kakak lelakiku ini penuh perjuangan.
“Bibi memarahimu, Julia?”
Dengan keterpaksaan, aku menyunggingkan senyum lebar menampakkan gigiku. Tak sampai hati aku membebani satu lagi orang yang kusayang dengan cerita penuh rengek manja dari seseorang yang menahan kesedihan dan kekecewaan. Aku beranjak dewasa.
“Nggak papa ge, Cuma telat pulang … lihat! Jam delapan malam aku masih pakai seragam.” Kataku membuka lengan. Memperlihatkan seragam identitas SMA ku yang penuh keringat.
“Memangnya hanya sekali ini kamu telat? Enggak kan? Ada apa, Ju? Aku susah payah kembali kemari bukan untuk kau bohongi.”
Air mataku terbentuk di sudutnya tiba-tiba.
Kata-kata Gege yang menyalahkanku karena telah membohonginya terasa sangat menyakitkan. Aku berbohong bukan untuk menyakitinya, tapi justru menjaga perasaan hatinya, tapi sekali lagi, hal yang kulakukan tak bisa diterima orang yang kusayang.
Perasaanku tersayat lagi.
Aku tak bisa menahan apapun lebih lama lagi. Aku mulai terisak ….
Menunduk di depan Gege. Aku tak sanggup memandang wajahnya. Kututup wajah menangisku dengan kedua tanganku. Aku begitu tenggelam dalam tangis saat aku merasakan kedua lengan Gege memeluk tubuhku, menjatuhkan krek di sisi kanan tubuhnya, tak peduli dengan cacat kakinya.
“Menangislah, Ju … menangislah adikku sayang … saat aku tak disini, kau pasti telah mengalami banyak hal.”
Tangisku semakin menjadi dalam pelukannya. Seakan gege tahu segalanya. Seakan ia menyelami lautan perasaanku yang meluas secara signifikan dengan mendalam. Aku telah mengalami banyak hal. Aku mengalami banyak hal. Banyak sekali hal-hal yang kualami.
“Gege …” ratapku dalam pelukannya.
“Iya, Ju …” jawab Gege.
“Kris Gege …” ratapku memanggil nama Gege.
“Menangislah sebanyak yang kau mau. Gege disini, Ju” jawab Gege lagi.
Tempo isakan tangisku meninggi. Bahu terguncang. Air mata yang mengalir hangat, tak ada yang mulai mendingin. Alirannya menderas tiba-tiba.
Dan aku masih belum bersuara.
Aku tenggelam dalam ratapan.
Meratap sebuah kisah tentang Kris Wu dan Julia Wu. Setahun yang lalu masih hidup damai dengan kedua orang tua mereka. Namun malam itu datang tanpa ada yang meramalkan sebelumnya, Kris dan Julia diyatim-piatukan oleh sebuah kecelakaan pesawat yang membawa mereka pulang dari Guangzhou usai merayakan imlek bersama keluarga Ibu mereka yang notabene orang asli Tiong Hoa.
Mulai hari itu kisah hidup mereka berubah. Tinggal bersama saudara ayah mereka. Orang asli  Madura. Dan tragisnya, keluarga yang tak merelakan pernikahan kedua orang tuanya, sehingga secara otomatis, tak satupun dari mereka yang merelakan keberadaan Kris dan Julia. Dua anak ini hidup di dunia asing dengan makhluk yang sama sekali tak bersahabat. Kris dan Julia bertahan dengan cara yang menakjubkan. Disaat mereka dipandang dengan penuh kebencian, mereka membalasnya dengan perlakuan penuh cinta. Satu-satunya cara hidup yang diajarkan pada mereka semenjak kecil adalah hidup dengan menebar cinta.
Namun hati yang dilingkupi benci itu terasing dengan sentuhan cinta. Sama sekali tak tergetar dan tergerak disuguhi sikap penuh sayang. Justru semakin timbul spekulasi buruk dan memunafikkan dua anak tak berdosa itu.
Suatu malam, paman mereka pulang dalam keadaan mabuk. Julia merasa lapar dan membuat sedikit keributan di dapur. namun sedikit keributan itu menjadi petaka besar. Julia dimarahi, dibentak, diteriaki bahkan dipukuli. Saat Kris datang membela, pamannya justru semakin menjadi. Menyiksa Julia dan mengibaskan tangannya menghalangi perlindungan Kris. Lalu ketidaksengajaan itu terjadi. Kris memukul wajah pamannya dengan terpaksa. Pamannya yang sedang mabuk sempoyongan ke belakang. Kepalanya menghantam pucuk meja dan berakibat fatal.
Keributan malam itu berakhir menyedihkan. Paman Julia kehilangan nyawa, Kris kehilangan kebebasannya dan menjadi buronan. Sedangkan Julia, kehilangan satu-satunya pelindung hidupnya: Kris. Kris yang setelahnya hidup serabutan.
Dan malam ini adalah kedua kalinya Kris kembali ke rumah itu semenjak ia kehilangan kebebasannya. Kedatangannya yang pertama, kakinya masih sehat. Secara diam-diam memanjat bangunan hingga sampai ke kamar Julia. Ia datang dengan riang. Menguatkan seorang Julia yang secara fisik semakin kurus. Dan secara mental semakin tertekan.
“Hush … semakin malam, jangan keras-keras manangisnya, nanti ada yang dengar…” kata Gege.
Aku diam. Mengusap mata dengan sebelah tangan. Sedang sebelahnya lagi menopang tubuh Gege. Lalu aku menuntun gegeku untuk duduk di kursi panjang lima langkah di depan pintu kamar.
“Apa yang terjadi dengan kakimu, Ge?”
“Kecelakaan kecil. Dua hari yang lalu. Jangan khawatir. Aku bertemu seorang dokter cantik dan baik hati. Dokter itu yang merawat lukaku ini. Katanya tak akan lama hingga aku bisa berjalan normal.” Kata Gege dengan senyum manisnya.
“Bagaimana gege bisa memanjat sampai ke sini dengan kaki pincang?”
“Siapa bilang aku memanjat?”
“Lalu?”
“Aku terbang.” Kata Gege syarat senyuman.
“Aku rindu gege …” kataku sambil melingkarkan lenganku ke pinggang gege.
“Berceritalah Julia. Apa saja yang ada di pikiranmu, katakanlah …”
“Aku tak tahu, Gege …”
“Hm?”
“Aku tak tahu aku ini orang macam apa.”
“Julia baik dan penyayang.” Gege tersenyum.
“Tapi aku hanya bisa mengecewakan orang yang kusayang.”
“Julia, kamu nggak pernah mengecewakanku.”
Aku terdiam. Mau menangis lagi.
“Aku mengenalmu sebagai seseorang yang punya konsep kebahagiaan sederhana. Bahagia saat yang lain bahagia.”
Aku memandang Gege.
“Berceritalah lagi, Ju, aku ingin mendengarmu …” lanjut Gege.
Aku menengadah. Memandang taburan titik titik bintang pada lembaran langit hitam.
“Gege, manusia itu bermacam-macam jenis ya? Mereka masing masing punya cara hidup berbeda-beda. Juga punya bentuk kebahagiaan yang berbeda-beda.”
“Kau bertemu masalah karena hal itu?”
Aku mengangguk.
“Aku melakukan suatu hal untuk melukiskan senyum di wajah seseorang. Tapi apa yang kulakukan juga menoreh luka di hati seseorang yang lain.”
Hening.
“Keputusan yang kuambil tak pernah bisa memuaskan semua pihak.” Sambungku.
Gege melingkarkan lengannya ke pundakku. Aku merasa tenang. Kepala beratku bisa tersandar ke bahu yang benar.
“Juga, aku melakukan banyak hal dan tidak melakukan banyak demi kebahagiaan orang-orang di sekitarku. Tapi hanya sedikit yang pada kahirnya merasa bahagia karena itu. Seringkali yang aku dapatkan justru kekecewaan yang menorah luka.” Ratapku.
Aku memandang gege untuk menanyakan satu hal.
“Gege, haruskah aku melewati beribu prahara dan mendapat ratusan luka untuk dapat merasakan setitik bahagia?”
Aku merasa aku ingin menangis lagi setelah menanyakannya.
Tapi Gege hanya tersenyum dengan memasang wajah setenang air danau di malam hari.
 “Jangan menyerah saat kau gagal melukis senyum puas di wajah orang-orang yang kau sayang. Akan ada waktu dimana mereka akan menyadari usaha kerasmu membahagiakan mereka. Ratusan luka yang kau dapat sebelum setitik kebahagiaan justru merupakan suatu hal yang membuat kebahagiaan kecilmu itu menjadi semakin besar dan tak ternilai harganya. Julia … ingatlah satu hal. Tak perlu kamu berharap balasan kebaikan ketika membaiki orang lain. Berharaplah hanya pada Yang-Kuasa, bukan pada manusia… Dia yang memeberi luka, Dia yang menghapus luka, Dia yang memberi bahagia, Dia juga yang bisa mencabutnya. Serahkan segalanya pada Yang-Kuasa. Tak akan ada yang perlu kau risaukan.” Gege berkata-kata tanpa cela.
Malam itu, di atas balkon, tepat dibawah kemerlap bintang, aku yang sehari-hari bersikap hemat kata menjadi begitu cerewet. Banyak hal yang mau kuceritakan pada Gege akhirnya. Dengan masih memakai seragam, aku tenggelam dalam percakapan yang melegakanku lahir dan batin.
Hari ini adalah salah satu hari terberat dalam hidupku. Mendapat dampratan di pagi hari dari orang-orang rumah, sikap tak bersahabat dari beberapa teman di sekolah, kena marah dari pemilik toko tempatku bekerja part time, dan kembali ke rumah dengan lelah dan tanpa sengaja menabrak pot mahal hingga pecah. Sekali lagi dampratan dari orang rumah. Dan berbagai peristiwa lain yang menyayat hati dan perasaanku. Membumbui kelamnya hariku.
Di saat aku mengalami berbagai hal buruk itulah, di ujungnya, aku punya Gege yang menempuh perjalanan sulit untuk sekedar memelukku. Memberiku kekuatan, memaksaku bercerita berbagi kekecewaan…
Di tengah segala kesakitan dan luka dalam kisah hidupku, aku bersyukur pada Yang-Kuasa untuk memberiku malam ini …
Namun dalam keremangan malam, tak ada satupun dari kami yang menyadari keberadaan orang lain di ujung tangga. Tak lama ia berada di sana. Tubuh besarnya menuruni tangga tanpa suara. Menuju ke lantai tiga, tepat dibawah kamar-atap ku. Tepatnya, menuju sebuah gagang telepon di sudut ruangan. Ia mengangkat gagangnya. Memencet beberapa tombol sambil membaca angka di buku telepon.
Hening. Lalu….
“Halo, kantor polisi?”
Dan orang itu kemudian berbicara tanpa sedikitpun rasa iba.